Aku mencintaimu,” katamu perlahan.
Sambil melempar batu karang ke bibir pantai, kau menoleh kepadaku, yang
pura-pura khusyuk dengan buku fitogeografi setebal 1,5 inci.
Konsentrasiku buyar, dadaku bergetar.
“Aku mencintaimu, Ren,” katamu tak
cukup. Kau mengatakannya tanpa terbata, apalagi salah mengucap kata. Kau
sudah berlatih, apa sudah terlatih?
“Aku dengar, kok.” Aku melepas
kacamata, “kau mengajakku terbang melintasi lautan hanya untuk bilang
itu?” kemudian menutup buku, mencoba memberimu perhatian penuh. Rasanya
aku ingin berlari dan sembunyi di balik pohon ketapang yang tumbuh di
sepanjang pantai ini. Namun sepertinya kau menangkap rona merah di
wajahku yang tak bisa menepis segala lonjakan, letupan, dan gumulan rasa
senang bercampur haru. Kau pun tersenyum, memandangi langit kemuning
yang sebentar lagi akan tersemburat oranye.
Aku terdiam beberapa jenak. Aku pikir
pertemuan ini hanya seperti sebelum-sebelumnya, mengamati sebaran
vegetasi, lalu kita berkemas dan pulang
ke pelukan orang lain. Beberapa detik yang lalu, aku pun masih ingin
perasaanku padamu hanya seperti jejak-jejak kaki di atas pasir pantai,
yang kita tinggalkan lalu hilang saat gelombang datang. Namun aku tak
yakin apakah aku masih menginginkan itu. Sebuah percakapan imajiner yang
selama ini hanya terjadi di kepala tiba-tiba menjelma realita.
Mengaduk-aduk perasaan yang sudah lama mengendap, mengerak.
“Aku mencintaimu sejak dulu, Ren. Sejak
kita duduk sebangku saat kelas satu SMU.” Aku melihat mulutmu sedikit
terbuka, mengembuskan napas begitu pelan. Perlahan.
Sebentar. Kelas satu SMU, katamu?
Bukankah itu kali pertama kita bertemu? Bukankah sejak itu wajahmu tak
pernah luput dari kepalaku? Beberapa kali kucoba mengabaikan, tapi kau
tetap berhasil mencuri waktuku barang semenit-dua menit saat bangun
pagi, saat berak di kamar mandi, hingga sebelum tidur di malam hari.
Belum lagi jika kau muncul dalam mimpi. Kurang ajar sekali!
“Aku tak pernah berani mengatakannya
padamu. Waktu kita memang tak pernah pas dan aku takut cintaku tak
terbalas,” katamu dengan pandang nyalang ke seberang.
Lalu kau beranjak dari tempatmu duduk.
Kau ulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Kita berjalan menyusuri
garis pantai, seperti sepasang kekasih pada umumnya, yang suka sekali
menikmati senja bersama-sama.
*
Barangkali memang tak banyak yang
berkunjung ke pantai ini. Sesore ini, hanya terlihat beberapa orang yang
sepertinya penduduk setempat, sepasang muda-mudi dan sebuah keluarga
kecil yang tampak bahagia, yang sepanjang siang
berteduh di bawah rindang pohon ketapang dan menghabiskan bekal
makanan. Aku tak tahu apakah sedari tadi aku terlihat memperhatikan
keluarga kecil itu, tapi aku tahu saat ini tanganmu mendarat di lengan
kananku.
“Aku ingin kita bersama, Ren…,” katamu sembari mendekat, meniadakan sekat. Inikah rasanya kau dekap?
Memang sudah bertahun-tahun aku
memimpikannya. Kurang lebih seperti ini. Kau dekap seperti ini, dengan
degup jantung sekencang ini, dengan perasaan yang sama seperti sekarang
ini. Tiap pekan kusiapkan kuaci dan telur puyuh rebus, camilan
kesukaanmu, siapa tahu kau mampir waktu malam Minggu. Kemudian
kubayangkan tiba-tiba kau bilang ‘aku mencintaimu’. Namun tentu saja aku
buru-buru menghapus angan-angan itu, takut bila suamiku tiba-tiba bisa
membaca pikiranku.
Tapi angan-angan itu memang tak pernah
terjadi. Kau tak pernah mampir waktu malam Minggu. Tak pernah tiba-tiba
bilang ‘aku mencintaimu’. Kau hanya sesekali menelepon untuk menawarkan joint project pemetaan
vegetasi langka dan terancam punah di gunung, di pesisir, dan di
tempat-tempat lainnya. Lalu saat kita bertemu, aku akan pura-pura sibuk
mengamati macam-macam tanaman dan kau benar-benar fokus dengan software-software
pembuat peta digital. Tapi beberapa menit yang lalu, waktu kau bilang
kau mencintaiku, lalu kau bilang kau ingin kita bersama, aku masih tak
bisa membedakan, mana yang angan, mana yang kenyataan.
Tunggu. Apa maksudmu kau ingin kita bersama? Kau ingin aku meninggalkan suamiku?
*
Angin berdesir dingin, menggoyangkan
daun-daun ketapang yang mulai memerah seiring dengan datangnya
bulan-bulan kering. Kau pun semakin erat mendekapku, lalu memandangiku
dengan mata itu. Mata yang selalu bisa membuat hatiku jatuh
sewaktu-waktu. Masih kuingat bagaimana dulu aku sering memperhatikan
matamu, yang membentuk tiga garis halus setiap kali kau tertawa.
“Benar, kau mencintaiku?” aku meragu.
Kau tak langsung menjawab, tapi malah
menatapku lekat. Sempat kulihat pemandangan indah pantai dan senja
berukuran mikro di matamu. Tapi sepertinya aku ingin menjelajah lebih
dalam, mencoba menemukan seberkas cahaya dari matamu. Kata orang dari
mata kita bisa melihat kebenaran. Barangkali aku bisa menemukan seberkas
cahaya yang memancarkan kejujuran, ketulusan, kesungguhan.
Tapi ternyata aku tak bisa. Aku tak bisa
membedakan apakah seberkas cahaya di matamu itu memancarkan kejujuran,
ketulusan, kesungguhan, ataukah hanya pantulan sinar matahari yang
sebentar lagi akan tenggelam.
“Perlukah aku mengulanginya?” tanyamu dengan masih lekat menatapku.
Aku hanya angkat bahu.
*
Kau menggenggam tanganku. Mengisi
ruang-ruang di antara jemariku dengan jemarimu. Kau tahu, tanganmu
selalu bisa membuatku gemetaran ketika sengaja atau tak sengaja
menyentuhnya. Tapi pasti aku tak pernah lupa bahwa tanganmu juga yang
biasa menyeka air mata Kadek, mengelus kepala Wanda, menggandeng mesra
Ulfah, dan yang melingkarkan cincin pada jari manis Mutia, yang kemudian
kau tinggalkan usai mengucap janji sehidup semati. Oh, sungguh
mengesankan aku mengingat nama-nama mantan kekasihmu.
“Tia apa kabar? Masih sibuk sama Amorphophallus titanum?” tanyaku mengejek sambil terheran-heran sendiri mengapa aku menanyakannya.
“Oh, aku tahu sekarang,” kau tersenyum
menyeringai, “semua keraguanmu bukan karena kau takut menyakiti suamimu
karena meninggalkannya demi aku. Tapi karena Mutia, kan? Dia dan mungkin
juga beberapa perempuan lain yang pernah dekat denganku.”
Lagi-lagi kau menatapku lekat dan aku
tak tahu mengapa kau begitu percaya diri bahwa aku sedang
mempertimbangkan sebuah keputusan untuk meninggalkan suamiku demi
dirimu.
“Dengarkan aku. Laki-laki memang sulit
hidup sendiri. Mereka, perempuan-perempuan itu, dan juga kau adalah
teman bagiku. Tapi percayalah, bagi laki-laki selalu ada seorang teman
yang benar-benar ia harap untuk terus menemani hidupnya. Satu orang yang
sungguh ia cintai.”
Apa? Teman, katamu?
“Lihatlah ke sana,” kau menunjuk sesuatu
yang jauh di seberang. Entah samudra yang begitu luas, entah matahari
senja yang berkilau keemasan.
“Di titik paling ujung,” ternyata kau
menunjuk satu titik cakrawala, “di sana, kita melihat langit dan laut
bagai bertemu. Bahkan kita lihat matahari senja ini seperti hendak
tenggelam ke lautan.
Anak kecil mungkin menganggap itu
sungguhan, tapi orang yang tahu kebenarannya tak mungkin menganggap
langit dan laut benar-benar bertemu di ujung sana. Juga matahari senja
ini. Ia tak benar-benar tenggelam dan bersembunyi di dalam laut,” kau
mengembuskan napas dengan perlahan.
“Kau boleh saja percaya penglihatanmu.
Tapi kebenaran tak selamanya sama dengan kelihatannya, kan…,” kau
tersenyum lagi, kali ini tanpa menyeringai.
*
Kita masih berjalan bergandengan tangan.
Hatiku tentu saja gamang, seperti air laut yang mulai pasang. Seperti
gelombang besar yang menampar bebatuan karang.
“Kau masih belum percaya aku mencintaimu?”
Aku menghela pelan. Diam-diam aku juga
menanyakan pertanyaan itu pada diriku sendiri. Lalu apa kemudian jika
memang kau mencintaiku?
Hatiku, atau mungkin hanya nafsu dan
berahiku, benar-benar membuatku ingin bersamamu. Kata-kata cintamu
seakan telah merampungkan romansa yang berlarat-larat, seakan menjawab
segala keluh yang selama ini tak kau acuh. Membalas cinta yang selama
ini aku derma. Memberi perjumpaan pada setiap penantian, yang demikian
panjang dan melelahkan.
Tapi sepertinya lebih waras jika aku
ingin memaki-makimu. Menyebutmu bangsat, keparat, buaya darat.
Mengumpatmu sedemikian rupa sampai kau tiada berupa. Jika memang sejak
dulu kau mencintaiku, mengapa harus kau habiskan waktu dengan
perempuan-perempuan itu?
*
Senja mulai menghilang dipeluk alam.
Gelap datang bersama dengan berbagai ketakutan. Takut kau bohongi, kau
selingkuhi, kau khianati, kau abaikan dan kau tinggalkan, kemudian
akhirnya aku sendiri dan tersakiti. Takut membohongi, menyelingkuhi,
mengkhianati, mengabaikan dan meninggalkan suamiku, kemudian akhirnya ia
sendiri, tersakiti, lalu bunuh diri. Aku pun tahu, masalah cintamu itu
tak lagi nomor satu.
Kutatap matamu lekat sembari tersenyum.
“Senja telah hilang, laut telah pasang. Sepanjang sore ini, cukupkanlah
bagi kita untuk hanya menjadi kenangan.”
Pelan-pelan kulepas genggamanmu. Kuambil
sebuah buku dari dalam tasku dan memindahkannya ke tanganmu. “Ini
menjelaskan panjang lebar tentang formasi flora hutan pantai, kau pasti
bisa memahaminya sendiri.”
Matahari tenggelam mengiringi langkahmu
yang gontai. Lamat-lamat aku mendengar debur ombak yang sedang menghapus
jejak-jejak kaki kita di atas pasir pantai. **
by
Komentar
Posting Komentar